Entah siapa yang memberitahunya alamat
saya, ia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan saya. Seorang sahabat lama
yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah bertemu, perawakannya tidak
ada yang berubah mulai dari cara bersisirnya hingga cara berpakaiannya.
Bahkan jika saya tidak salah ingat, pakaian yang dikenakannya saat itu
adalah pakaian sehari-hari yang saya lihat sepuluh tahun yang lalu. ia
bersepatu, tetapi saya tak sanggup menatap lama-lama sepatunya itu,
hanya karena khawatir ia tersinggung jika saya menatapnya lama. Sebuah
tas gemblok lusuh menempel di punggungnya, selusuh celana panjang yang
warna hitamnya sudah memudar.
sumber foto : google image |
Sebut saja Mino, ia langsung membuka
tangannya berharap saya memeluknya sama hangatnya seperti dulu setiap
kali kami bertemu. Tentu saja saya menyambut haru tangan terbukanya itu,
kami pun berpelukan hangat dan cukup lama. Aroma matahari cukup
menyengat dari tubuhnya tak membuat saya ingin melepaskannya, semerbak
kerinduan diantara kami telah mengalahkan segalanya. Mino, lelaki seusia
saya itu bergetar hebat meski hanya beberapa menit kami berpelukan,
saya merasa ada tetesan air di pundak saya. “Sudah jadi orang hebat
sahabatku ini rupanya…” bibirnya bergetar.
Setelah berbicara sedikit tentang
perjalanan masa lalu, saya agak iseng menanyakan keluarganya. Mino
langsung tertegun, membuat saya merasa bersalah melepaskan pertanyaan
itu. Bibirnya seperti hendak bergerak mengatakan sesuatu, tetapi yang
terdengar hanya gumaman yang tak jelas. “Maaf jika saya menyinggung
perasaanmu…” kalimat saya dipotong cepat, “Ooh tidak, tidak apa-apa…”
Beberapa detik kemudian saya mampu
membaca pikirannya, “Apa yang bisa saya bantu No?” Wajahnya sumringah
mendadak, senyum yang sudah lama tak pernah saya lihat, yang saya lihat
terakhir kali sepuluh tahun lalu itu. Sambil menepuk pundak saya ia pun
berseloroh, “Orang sukses seperti kamu pasti bisa membantu saya untuk
keluar dari persoalan kehidupan ini…”
Saya mendengarkan kisahnya, tentang usaha
reparasi komputernya yang bangkrut sehingga ia menjalani hari-hari
tanpa penghasilan sepanjang hampir tiga tahun. Tentang hidupnya yang
terus nomaden karena tak sanggup membayar biaya kontrakan, kontrakan
terakhirnya yang ia tempati saat ini pun sudah menunggak tiga bulan dan
diberi ultimatum satu bulan lagi untuk segera melunasinya. Belum lagi
soal biaya masuk sekolah untuk anaknya yang sama sekali tak ia sanggupi.
Dalam benak saya, “Mungkin ia akan
meminjam atau meminta bantuan sejumlah uang yang cukup besar”. Kadang
saya berlaku sok pahlawan, ingin membantu seseorang walaupun kondisi
sering tidak memungkinkan untuk membantu maksimal. Namun rupanya dugaan
saya salah, Mino hanya meminta sedikit dari yang saya kira, itupun
meminjam. “Saya mau pinjam uang dua puluh ribu, bolehkah?” tanyanya
hati-hati, mungkin ia khawatir saya tak bisa meminjaminya.
Saya tersenyum, dua puluh ribu tentu saja
bukan lagi pinjaman. Dalam kebiasaan saya, yang namanya pinjaman itu
nilainya bisa sampai jutaan. “Begini No, kalau dua puluh ribu saya tidak
mau meminjamkannya, tapi saya akan memberikannya kepadamu… ikhl…” saya
batalkan menyebut kata ini. Bahkan saya memberi lebih dari yang
dimintanya, meski kemudian Mino bilang bahwa yang saya berikan itu
statusnya tetap pinjaman. Saya bilang, “itu pemberian” dia bilang, “ini
pinjaman”, saya menyudahi perdebatan soal status itu dengan menyerah
pada kegigihannya untuk tetap “meminjam”, bukan “meminta”.
Dua bulan sudah saya tak mendengar kabar
darinya. Entah apa yang bisa dilakukannya dengan uang yang tak seberapa
itu. Hingga beberapa hari lalu, saya mendapat pesan singkat dari
seseorang, “Saya ingin kembalikan lima puluh ribu yang saya pinjam tempo
hari”. Saya bingung siapa yang mengirim pesan singkat tersebut karena
namanya tidak tertera, setelah saya tanya siapa yang mengirimnya,
terkirim lagi satu pesan singkat, “Ini Mino, maaf tidak bisa balas sms
lagi soalnya pakai hape teman”.
Saya putuskan untuk menelepon langsung
nomor tersebut dan berbicara dengannya. Saya sudah katakan bahwa uang
itu bukan pinjaman, tetapi hadiah. Namun ia tetap bersikeras ingin
mengembalikannya. Cerita ia, hari itu juga setelah mendapat uang dari
saya ia langsung membeli satu dus air mineral untuk dijual satuan. Habis
satu dus, ia membeli lagi, dijual lagi dan begitu seterusnya. Sehingga
satu bulan kemudian ia punya sedikit uang untuk dijadikan modal
berdagang ala kadarnya. Tidak hanya itu, ia pun terselamatkan dari
usiran pemilik kontrakan karena mulai bisa menyicil biaya kontrakan yang
tertunggak. “Alhamdulillaah, saya masih punya sahabat yang
memerhatikan…” ujarnya dari seberang telepon.
Ingin sekali saya bertemu lagi dengan
sahabat saya itu, kali ini saya akan memeluknya lebih lama dan lebih
erat meski saya tahu aroma mataharinya lebih menyengat dari yang saya
reguk sekitar dua bulan lalu. Hati ini jelas berbunga-bunga, ada haru
yang terus menyelimuti dinding-dinding jiwa ini selepas pembicaraan di
telepon itu. Masih terngiang di telinga saya ketika ia hanya ingin
meminjam dua puluh ribu rupiah, jauh dari dugaan saya sebelumnya. Namun
dua puluh ribu yang ingin ia pinjam itu adalah sebuah nilai kehidupan
bagi seorang Mino.
Dua puluh ribu rupiah, bagi sebagian kita
hanyalah senilai sebungkus nasi di warung padang saat makan siang.
Tetapi bagi orang seperti Mino adalah kehidupan panjang bagi ia, isteri
dan dua anaknya. Dua puluh ribu bagi sebagian kita tidak cukup untuk
uang jajan sehari anak-anak kita, namun bagi Mino berarti senyum panjang
isteri dan anak-anaknya. Dua puluh ribu rupiah yang bagi sebagian kita
sering dianggap recehan, namun bagi seorang Mino adalah nilai
kehidupannya yang sangat berarti.
Sahabat, tahukah arti dua puluh ribu rupiah miliki Anda??
(sumber: Bayu Gawtama)
Ikuti artikel dengan email
0 Response to "Nilai Sebuah Kehidupan"
Post a Comment